Selebritas

Selebritas

Seorang selebritas, atau pesohor, adalah seorang yang terasing dari cermin di hadapannya.  Ia tak lagi sendirian di kamar mandi.  Kini cerminnya digantikan alat lain: kamera, alat perekam suara, atau catatan seorang jurnalis.  Alat-alat itu mewakili tatapan orang banyak yang ia asumsikan senantiasa hadir. Di tatapan itulah ia melihat dirinya. Atau lebih tepat: “diri”-nya.

Orang banyak itu — pembaca kolom gosip, pendengar radio, penonton TV dan bioskop  — tentu saja tak tampak di matanya. Ataupun tak jelas benar sebenarnya siapa  sosok dan suara itu. Massa. Kelimun. Orang ramai.  Wajah tanpa riwayat. Bukan “engkau” yang bisa ia ajak bertegur sapa, melainkan “mereka”.  Dan ia berpose untuk “mereka”.

Begitu menentukankah “mereka” yang tak tampak itu, hingga konstruksi “diri” selebritas seperti Paris Hilton atau Nadia Hutagalung  bisa berbeda dari muka yang di cermin?

Andai kita berada di pertengahan 1930-an, di puncak pertama  perkembangan industri film dan teknologi fotografi, jawabannya lebih pasti.  “Mereka yang tak tampak, yang tak hadir ketika [seorang aktor] menjalankan pertunjukannya, adalah mereka yang sesungguhnya mengontrol pertunjukan itu.” Itu kesimpulan Walter Benjamin ketika di tahun itu ia berbicara tentang tentang penonton, pendengar, dan pembaca media massa yang tak terlihat oleh sang aktor.

Tapi Benjamin tak sepenuhnya benar.  Sebagai konsumen, “mereka yang tak tampak” itu memang bisa sangat menentukan — mungkin sejalan dengan “the invisible hand”  pasar bebas.  Tapi di antara penonton dan sang aktor ada produsen:  bukan hanya sutradara, tapi juga, dan terutama, para pemilik modal yang menguasai media massa, baik film itu sendiri maupun koran gosip.  Merekalah yang mengedarkan candu itu (gosip adalah candu bagi orang ramai) hingga orang ramai itu sepenuhnya asyik dalam kekaguman dan siap menanggung segalanya.
Henry Kissinger –  seorang menteri luar negeri yang pintar yang terlanjur jadi pesohor — pernah berkata dengan sedikit mencemooh:  “Yang menyenangkan ketika jadi selebritas adalah bila kita membosankan atoledo orang banyak, orang banyak itu menganggap itu gara-gara kesalahan mereka sendiri.”
Tapi Benjamin tak sepenuhnya salah.  Di akhir paragaf ia  menambahkan faktor kapitalisme — meskipun lebih tepat tak hanya kapitalisme, tapi juga tiap bentuk industri budaya yang menjangkau massa, yang mengubah diri sang aktor jadi “diri”. Padanya sebenarnya tak ada lagi pesona kepribadian.  Pesona itu sudah digantikan “daya pukau yang sudah boyak”, karena –  terutama dalam kapitalisme –  pesona itu ada hanya sebagai komoditas. Pada akhirnya, jika sang pesohor memang punya nilai, ia hanya punya Ausstellungwert, “nilai-pameran” , “tontonan”, atau “pajangan.”

Kini nilai itu merambat jadi ukuran di mana-mana. Di zaman ketika 90% informasi yang diserap khalayak Indonesia datang dari TV yang sibuk dengan pelbagai show, “nilai-tontonan”  pun masuk ke dalam politik:  partai-partai dengan sadar mencampur-adukkan peran selebritas dengan kerja politik.  Bintang sinetron TV — pembawa lakon yang gampangan tapi gemerlap –ramai-ramai diubah jadi calon pemimpin eksekutif atau anggota dewan legislatif.  Dengan keyakinan mereka akan dipilih.  Maksudnya: akan laku.

Cukup mencemaskan. Sebab trend ini mengingatkan kita kepada yang pernah terjadi di masa lalu, di negeri lain, ketika khalayak dibuat terpukau dan “sang juara, sang bintang, dan sang diktator muncul sebagai pemenang.”

Kata-kata itu juga dari Benjamin, di salah satu catatan kaki untuk risalahnya yang sama, tentang karya seni di masa teknologi reproduksi, yang ia tulis empat tahun sebelum ia lari dari penindasan Jerman Hitler tapi berakhir dengan bunuh diri di perbatasan Prancis-Spanyol.
Benjamin berbicara tentang “krisis demokrasi”. Ia menghubungkannya dengan perubahan kondisi yang menampilkan politisi ke depan publik. “Radio dan film,” tulisnya, “tak hanya mengubah fungsi sang aktor profesional tapi juga fungsi mereka yang, seperti politisi, menampilkan diri di depan media itu.”

Penampilan itu praktis dikendalikan instrumen yang ada. Ia hanya jadi sejenis ketrampilan teknis.  Bila aura seorang Oedipus ketika diperankan Rendra bertaut dengan aura sang aktor di pentas itu & di saat itu juga, sosok politisi yang muncul melalui  televisi sebenarnya hanya “diri” yang tanpa aura.  Ia telah diformat.

Sebuah proses keterasingan pun berlangsung.  Sang aktor masuk ke dalam arena politik tanpa subyektifitas, tanpa gelora hati untuk agenda politik yang menuntut darah dan doa.  Dua kata itu mungkin terlampau dramatis buat zaman ini, ketika “demokrasi” berubah jadi akrobat dalam tong setan:  berputar-putar dengan trampil dari bawah ke  atas — sebuah gerak yang akan begitu selamanya. Para pelaku,  yang tak punya kata-kata sendiri, akan kehilangan peran bila mereka mendobrak ke luar tong.

Demokrasi-tong-setan ini bisa rapi dan memikat banyak orang. Mungkin ini juga “peng-estetis-an politik,” Ästhetisierung der Politik, yang digemari Hitler dan Mussolini. Tapi ia akan tak mampu menghadapi problem yang mendasar.  Di luar tong setan itu, keadilan dan kemerdekaan tiap kali masih terus menerus harus direbut, dengan sengit, dan diperluas.  Sementara di dalam,”Parlemen ditinggalkan orang”.

Ketika Benjamin menuliskan kata-kata itu, ia bermaksud menunjukkan  bagaimana teknologi mengambil peran dewan perwakilan. Bagi saya, itu berarti politik di parlemen akan jadi kosong dari percakapan dan pergulatan yang berarti.  Bukan mustahil sang juara akan tampil dari kekerasan, sang bintang akan datang dari kebosanan, dan sang diktatur dari kedunguan.

Kutip dari "Catatan Pinggir" oleh Goenawan Mohamad


Comments

Post a Comment

Popular Posts